Donnerstag, 24. Juni 2010

Budaya On Time

Seingat saya dari jaman rikiplik (jaman dulu banget), saya adalah orang yang sulit sekali tepat waktu. Berangkat ke sekolah, bisa dihitung dengan jari, saya bisa sampai tepat waktu. Selebihnya, mepeeeetttt...Pasti sampai gerbang pintu sekolah,balapan sama Satpam yang udah siap-siap mau nutup pintu gerbangnya. Kalau ada yang nyari saya pagi-pagi di ruangan kelas, sobat saya sewaktu SMA pasti bilang: "Mira mah nanti datengnya jam 7 lewat satu". Saya juga ngga ngerti kenapa saya selalu terlambat berangkat sekolah. Walaupun udah bangun dari subuh loh.

Tapi itu dulu...(Cieee...). Sekarang saya termasuk golongan yang jarang telat. Walaupun masih kadang-kadang banget juga pernah telat. Saya juga heran kenapa saya bisa berubah. Belum terlalu lama berubah, tapi beneran loh, saya sampe terkagum-kagum sendiri. Hehehe... 

Pasti orang-orang mengira saya bisa tepat waktu karena saya berada di Jerman. Karena semua disini berjalan begitu tertibnya dan tepat waktu, maka itu mempengaruhi saya, begitu kan?? Hmmm...kalau begitu tebakannya, anda belum beruntung alias ngga sampe 50% bener. Meskipun ngga seratus persen salah.

Waktu saya kuliah, penyakit ngaret saya juga masih ada kok. Malah kadang-kadang sampe saking ngaretnya dan malu sama Pak Professor yang lagi ngajar, saya nerusin tidur lagi aja di rumah, sampe jam pelajaran berikutnya (Enaknya kuliah di Jerman, ngga pernah di absen).


Sebenernya alasan utamanya saya bisa on time karena terpaksa. Sejak punya anak, Termin-termin (janji-janji) yang saya buat kebanyakan berkaitan dengan kepentingan anak saya. Mungkin karena saking sayangnya sama anak atau mungkin karena ngga ingin kepentingan anak terlewati, makanya saya ngotot datang selalu lebih awal dari jam yang ditetapkan. Apalagi namanya juga anak-anak, nyiapin mereka bisa makan waktu lama. Ditambah lagi ada musim dingin, dimana anak-anak mesti pake baju berlapis-lapis kalau keluar rumah, belum perbekalan yang segrambreng. Semua itu butuh persiapan yang awal dan terencana. Alhamdulillah, sejak itu On Time menjadi kebiasaan yang sangat mudah dijalankan.

Ngomong-ngomong tentang tepat waktu, ternyata bukan cuma orang Indonesia aja yang dicap tidak On Time. Memang belum ada penelitian yang ilmiah sih. Ini cuma pengamatan subjektifitas versi saya. Waktu kami sekeluarga jalan-jalan ke Perancis, dan mengunjungi dua kota berbeda (Paris dan Bordeaux), sampe ngga ada kata yang keluar dari mulut untuk bisa mengungkapkan kekesalan saya. Orang Perancis juga cenderung ngga On Time meskipun ngga bisa digeneralisasi. Beberapa kali suami saya janjian sama orang sana, mesti ngaret 15 menit. Begitupun kereta antar kota..., weleh-weleh, sama Jerman jauh dah. Selidik punya selidik, yang suka sebel kalo janjian sama orang Perancis di Perancis ternyata banyak. Salah satunya atasan suami saya. Menurut dia, kalau janjian sama orang Perancis di Perancis memang harus siap-siap dikaretin 15 menit. Saya tulis orang Perancis di Perancis loh ya. Sebab kalau sudah sampe Jerman mereka ikut budaya On Time orang Jerman.

Jadi memang ternyata On Time itu adalah budaya dan kebiasaan orang atau bangsa tertentu. Bisa jadi orang-orang Jerman bisa tepat waktu karena terpaksa seperti saya. Gimana ngga terpaksa coba, contoh kalau janjian, meskipun sama temen deket telat 10 menit ditinggal kok. Apalagi semua disini terukur dan tepat waktu. Misalnya jadwal bus, Tram, kereta dan sebagainya. Kecuali ada kecelakaan, jarang sekali tidak on Time.

Orang Perancis dan orang Indonesiapun demikian. Mereka atau kita tidak tepat waktu, karena orang-orangnya juga memaklumi ketidaktepatan waktu itu sendiri. Misalnya kalau janjian sama temen, terus telat, masak mau ditinggal pergi. Pasti kalau saya mikirnya, kan sayang ngga ditunggu atau alasan lain sebagai pemakluman ketidaktepatan waktu. Orang Perancis juga sudah memaklumi dan mempersiapkan tentang tambahan waktu 15 menit untuk kebudayaan atau kebiasaan ketidaktepatan waktu mereka.

Yang bikin geli, kalau orang Perancis siap-siap dengan waktu tambahan selama 15 menit, saya sebagai orang Indonesia siap-siap dengan waktu tambahan ketelatan selama 60 menit atau lebih....

Samstag, 12. Juni 2010

Hier fühle ich mich wohl*

* Disini saya merasa nyaman

Abis jalan-jalan sore sama abi , Daffa, dan Syamil, iseng-iseng buka kotak pos. Walaupun jarang ada surat sampai hari sabtu, ada iklan mingguan menarik yang selalu mampir di kotak pos setiap hari sabtu.

Ada surat dari Jugendamt (Kantor pemerintahan yang mengurusi bidang anak dan pemuda). Penasaran banget, sampai-sampai  saya buka di perjalanan menuju Wohnung kami di lantai 3. Kaget setengah ngga percaya, ternyata isinya "pemaksaan" kami sebagai orangtua dari Syamil diharuskan memerikasakan anak secara berkala. Kebetulan Pemeriksaan berkala Syamil yang kelima (U-5) harus dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Ck.ck.ck, ternyata Jerman perhatian banget yah sama anak-anak. Sampai-sampai di dalam suratnya itu ditulis, kalau kami tidak mengirimkan kartu yang sudah distempel dokter dalam batas waktu yang ditentukan, kami akan dilaporkan ke Jugendamt untuk dipertimbangkan, apakah masih layak merawat anak kami sendiri. Wiidiiih...keren abis dah.

Sebenernya tanpa surat dari Jugendamt-pun saya pun biasa memeriksakan anak secara rutin. Namun surat itu sepertinya memang sengaja dibuat untuk mengantisipasi para orangtua yang tidak memeriksakan anaknya secara rutin ke dokter.

Ngga cuma itu, beberapa bulan yang lalu kami kedatangan tamu dari Stadt Hannover (kaya pegawai kelurahan kali ya, kalau di Idonesia). Dia datang untuk memberitahukan panjang lebar tentang fasilitas  yang ada di Hannover untuk anak-anak. Dari mulai pengamanan anak di rumah, tangga, alat-alat dapur, sampai kolam renang anak, perpustakaan bayi dan anak, tempat berwisata untuk para ayah dan anak. Pokoknya lengkap banget dah....ampe geleng-geleng kepala. Itu baru soal anak.

Baru beberapa jam yang lalu, saya nonton cara reality show, judulnya kalau ngga salah "Achtung Kontrolle" (Awas Ada Pemeriksaan). Pada acara kali itu kebetulan supir-supir kendaraan besar (LKW) yang diperiksa, apakah muatannya legal, apakah kendaraannya layak jalan, apakah surat-suratnya lengkap. Nah...ada supir dari Rumania  yang kebetulan diperiksa. Dia ngga punya masalah sama sekali dengan surat-surat dan keadaan kendaraannya. Cumaa...., yang bikin saya heran bin takjub, si polisinya mengecek, sudah berapa lama si supir menyetir, dan sudah berapa lama istirahat. Ternyata menurut pemeriksaan polisi, si supir ini baru 6 jam istirahat. Menurut peraturan, supir yang sudah menyupir sekian jam diharuskan istirahat selama 11 jam. Akhirnya si supir ngga boleh jalan dulu, dan harus istirahat di pos polisi tersebut. Parah ngga sih?? Perhatian bener sama jam istirahatnya supir.

Jerman--jerman..emang negara kalo udah maju,ngga lagi cuma mengurusi urusan perut yak?Kapan kita bisa kaya gini??

Freitag, 11. Juni 2010

Logopedi (terapi bicara)

Setelah beberapa kali tes THT, dan dinyatakan kuping Daffa ngga apa-apa, sekarang Daffa dikasih resep untuk Logopedi (Terapi bicara). MEmang sih saya banyak dengar dari para ibu-ibu bahwa anak laki-laki memang banyak yang telat ngomong, atau sering dibilang males ngomong. Tapi mungkin Daffa emang beda.

Bermula pada waktu Daffa dan saya mengantar Syamil untuk imunisasi. Daffa yang waktu itu bosen berat karena lama nunggu dan memang "cuma" mengantar adiknya mulai ngoprek barang-barang yang ada di ruang dokter. Dari mulai laci yang dibuka-buka. Sekrup tempat tidur periksa yang diputer-puter, sampe....apalagi kalau bukan komputer. Di rumah Daffa memang saya ijinkan untuk mainan komputer (mencet-mencet maksudnya). Tapi..., karena memang di Jerman, komputer adalah salah satu barang  terlarang kategori prioritas tinggi di samping Handphone untuk anak-anak, maka dokternya pun sangat-sangat heran melihat Daffa walaupun sudah bolak-balik dilarang tetap balik lagi ke komputer itu.

Jadilah di rekaman medis beliau ditulis bahwa Daffa kennt keine Grenze (Daffa ngga mengenal batas). Kemudian diputuskan oleh bu dokter bahwa Daffa sebaiknya diterapi bicara, supaya komunikasi dan interaksi dengan manusia lain bisa diperbaiki. Terapinya berlangsung 2 kali seminggu. Satu kali pertemuan 45 menit. Sampai saat ini baru berlangsung 5 kali pertemuan. Disanapun, Daffa baru diajak main doang. Alhamdulillah udah banyak kemajuan, sekarang Daffa sudah mau mengikuti kata-kata yang diucapkan kami, walaupun sedikit sekali. Menurut si penerapi, Daffa sebaiknya dimasukan ke play grup supaya kemampuan interaksinya berkembang lebih cepat.

Awalnya sedih juga ketika DAffa dibilang ngga kenal batasan-batasan, tapi ya udahlah, mumpung semua gratis, dan ibunya jadi banyak kegiatan antar sana-sini...hehehehee... Lagipula ibunya Daffa jadi ngeh, kalau mulai sekarang mesti tegas sama anak. Mungkin di rumah boleh ngoprek komputer, tapi di rumah orang atau di tempat lain ga boleh Norma-norma yang berlaku umum juga harus segera diajarkan ke anak.

Montag, 7. Juni 2010

Cemburu

Habis baca buku Karenamu Aku Cemburu karangan Asma Nadia dkk, jadi pingin nulis. dalam buku itu diceritakan macam-macam penyebab cemburu istri pada suami. Ada yang karena cewek-cewek cantik, ibu mertua, Games, atau cemburu gara-gara suaminya yang terlalu baik sama orang lain.

Hmmm..., jadi mikir-mikir apakah saya dan suami pernah selisih paham gara-gara cemburu. KAlau diingat-ingat, mungkin waktu awal-awal pernikahan, suami sempat cemburu sama orang-orang yang ngeliatain istrinya. Menurut doi, istrinya kecakepan (ceileee jreng:-D). TApi seiring waktu, dan udah istrinya jadi emak-emak banget, mana ada yang ngeliatin istrinya lagi. Atau lebih tepatnya mungkin si abi juga udah kerepotan sama anak-anak daripada ngeliatin orang-orang, apakah sedang memperhatikan istrinya.

Sebetulnya sedikit sekali faktor yang bisa menyebabkan kami cemburu. Soal perempuan atau laki-laki lain, tipis harapan untuk jadi faktor cemburu. Kami menerapkan resep yang pernah saya baca dari tulisannya mba Helvy, bahwa ngga ada curhat-curhatan antar lawan jenis pada saya maupun suami. Jangankan curhat, kami sepakat semua Email dari perempuan yang ditujukan untuk suami, akan di forward atau dikopi ke Email saya, begitupun sebaliknya. Kalau saya menerima Email dari laki-laki atau hendak menulis Email kepada seorang laki-laki, wajib di forward atau dikopi ke suami. Walaupun untuk hal-hal pekerjaan. Baik pekerjaan formal maupun urusan dakwah.