Semua buat saya terasa asing, kepala saya sampai pusing memikirkan kata-kata apa yang harus meluncur dari bibir ini ketika berhadapan dengan orang yang baru saya temui. Saya yakin ngga cuma saya yang merasakan semua ini. Saya yakin saya punya banyak teman di luaran sana yang merasakan tertekannya berhadapan dengan orang baru.
Ketakutan saya semakin menjadi-jadi ketika saya berhadapan dengan sosok yang bernama GURU. Sebagus apapun modifikasi kata guru itu, tidak membuat ketakutan saya hilang. Guru yang menjelma menjadi seorang ustadz ataupun profesor tetap membuat lutut saya lemas ketika berhadapan dengannya. Pun, ketika teman-teman saya berusaha meyakinkan saya bahwa Profesor-Profesor atau dosen- dosen di Jerman sangat terbuka dengan pertanyaan dari murid-muridnya. Ketakutan itu menetap dengan anteng di sudut hati saya.
Saya sangat terganggu dengan perasaan saya sendiri. Apalagi kesuksesan seorang yang sedang belajar bergantung juga dari keluasan hati kita berhubungan dengan sang guru, tidak malu bertanya, dan berkonsultasi dengannya.
Semua teori itu sudah saya ketahui. Teori hanyalah sebuah kata-kata yang sama sekali tidak bisa saya laksanakan. Tetap saya bibir saya bergetar ditambah seluruh ini lemas jika berhadapan dengan sosok yang derajatnya ditinggikan oleh sang Rabb. Tidak hanya ketika saya harus berkonsultasi sesuatu dengan sang guru, ketemu di tengah jalan saja salah tingkah ngga karuan. Sahabat tentu bisa membayangkan betapa tersiksanya saya ketika berada di kelas.
Sampai hari tekahir kelulusan saya di bangku kuliah, saya tetap belum bisa berkompromi dengan perasaan saya yang sangat menggganggu ini. Saya mencoba menyelidiki kenapa saya takut sekali berhadapan dengan guru. Memang banyak pengalaman ngga enak yang saya alamai dengan guru. Sewaktu SD, saya sempat dibego-begoin oleh ibu guru yang mungkin lagi stres berat karena masalah "dalam negrinya". Ketika SMP, saya menggigil ketakutan ketika melihat ada seorang teman laki-laki ditampar karena tidak mengerjakan PR. Semasa SMU tidak kalah serunya, saya sering banget diomelin sama guru Fisika karena sebab-sebab yang saya anggap sepele. Dengan para ustadz memang saya relatif tidak punya pengalaman buruk, hanya saja label guru yang melekat pada sosok itulah yang membuat saya ngeri tak beralasan.
Akhirnya sekarang ini, saya mencoba untuk melawan perasaan saya sendiri dengan cara kuliah jarak jauh. Kalau di Indonesia namanya Universitas terbuka. Mungkin kalau saya tidak secara langsung melihat sosok bu guru dan pak guru, perasaan saya lebih berdamai dengan logika keinginan mencari ilmu. Kalau saya ada kesempatan, mungkin saya akan mencoba menjadi guru untuk menerapi perasaan saya sendiri...
------------------------------------------------
Untuk diikutkan dalam lombanya mba Lessy disini
Oh iya, artikel ini sama sekali bukan untuk menyudutkan para guru. Saya sangat berterima kasih sekali kepada para guru yang telah mengantarkan saya hingga bisa sampai sekarang ini. Buat saya para guru tetaplah Pahlawan tanpa tanda jasa..., yang selalu saya sayangi dan saya hormati.