"Mas, buat deketin anak tuh salah satunya nggantiin popok kalau ee."
"Mumpung anaknya masih kecil, masih mau diajak main, ntar kalo udah gede mana mau coba."
"Kata Trainer kemarin, jangan ragu-ragu bilang cinta dan sayang sama anak-anak mas".
Berbusa-busa Dara meyakinkan suaminya untuk bisa dekat dengan anak-anaknya. Tidak seperti Dara dan ayahnya.
Ingatannya terbang beberapa tahun ke belakang. Terbayang satu wajah. Wajah yang sangat jarang ia sapa. Seorang ayah. Dengan keriput di wajahnya.
Yang dengannya tidak pernah bisa banyak bercerita.
Yang ketika remaja, ia merasa tidak membutuhkannya.
Yang perannya di rumah selalu digantikan oleh ibu.
Yang jarang sekali bisa main dengan anak-anaknya.
Yang pelit sekali dengan kata-kata, apalagi kata cinta.
Ahhh...mungkin beliau punya beribu alasan baik. Alasan yang tidak akan mungkin bisa dimengerti oleh anak-anak seusia dara dulu.
"Ayahku tentu mencintaiku. Toh beliau menangis ketika menikahkanku." bela Dara dalam hati. Pembelaan yang ditujukan untuk menentramkan hatinya sendiri yang belum terlalu yakin dengan cinta ayah pada dirinya.
Ayah cuma mengulang-ulang dua pertanyaan wasiat ketika berinteraksi dengan anak-anaknya:
"Sudah sholat belum?" atau "sudah belajar belum?"
Dua hal yang kini Dara sadari, belajar untuk kehidupan dunianya, dan sholat untuk akhiratnya. Pasti ayah cinta Dara.
******
Untuk meramaikan lomba ini