Freitag, 8. Mai 2009

Komunikasi a la orang dewasa

Belakangan ini saya dan suami sering berdiskusi tentang hal yang satu ini. Kelihatannya sepele, tapi kalau tidak menyiapkan diri untuk berlapang dada pada setiap kata yang diucapkan oleh kita atau orang yang mendengarkan, maka komunikasi yang sedang dijalin akan berujung pada konflik.

Kasus pertama, si A dan si Z sedang berdiskusi, kemudian dalam diskusi tersebut si A berpendapat ABCDEFGHIJ mengenai sesuatu hal, akan tetapi yang ditangkap oleh si Z adalah ABCDHIJ dan ada orang lain yang mendengarkan (anggap si X), menangkap apa yang disampaikan oleh si A ini sebagai  GHIJKLMNOPQ. Berabe kan, maksudnya si A, tidak tersampaikan, malah kadang dibumbui oleh si X dengan kalimat2 yang lain. Kasus pertama ini saya rasa sudah dialami oleh setiap orang di dunia.

Kasus kedua: (sekarang pake contoh nama biar ngga bingung)
Si Mamat, seorang penjual tempe yang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin.
Si Pram, seorang profesor mesin, temen si Mamat waktu di kampung.
Si Jamilah, pengusaha tempe yang cukup sukses di jakarta, asal kampungnya sama dengan Mamat dan Pram.
Mereka bertiga bertemu pada suatu reuni SD di kampungnya. Tiba-tiba mereka bertiga terlibat diskusi seru mengenai pembuatan tempe yang efektif.

Si Mamat berpendapat: "Seharusnya cara membuat tempe yang lebih efektif adalah memakai panci presto pada waktu merebus kedelainya". 
Si Pram: wah..., jangan nanti rasanya kurang sedap, lagipula kandungan tempe akan rusak, bla..bla..bla, dengan uraian yang cukup panjang dan kelihatan sangat berbobot. (maklum profesor)
Kira-kira Jamilah percaya sama siapa hayo....?

Ternyata si Jamilah lebih percaya sama Si Pram. Ya iya lah, Pram kan profesor, walaupun gelar profesornya, ngga ada hubungannya sama sekali dengan tempe, tapi, masa Profesor dibandingin sama tukang tempe..jadi sampai saat ini, boro-boro Jamilah nyobain bikin tempe pake panci presto, dengerin si Mamat aja kayanya males, nanti malah negrusak rasa tempe seperti kata si Pram.

Nah, kasus yang kedua ini, mungkin tidak dialami setiap orang, tapi yang pasti, yang namanya kedudukan, kedudukan apapun itu (atasan dengan bawahan), status sosial (lebih kaya-atau lebih miskin), perbedaan umur ( tua dan muda), sangat berpengaruh dalam setiap komunikasi. Apakah akan didengarkan atau tidak.

Ini mirip dengan pernyataan imam Syafii':

Orang dewasa itu, kalau mendengarkan pendapat dari orang lain, di dalam akalnya ada logika seperti ini:
Pendapat saya benar, bisa jadi salah.
Pendapat kamu salah, bisa jadi benar.

Logika yang menyalahkan pendapat orang lain dulu, ketika mendengarkannya. Orang dewasa itu sulit sekali berpikir netral, bahwa saya dengarkan dulu, saya selidiki dulu, baru saya putuskan apakah pendapat orang itu benar atau salah.

Ada bagusnya juga kalau punya logika seperti kebanyakan orang. banyak yang bilang, justru itu berprinsip, dan itu bagus. Tapi kadangkala logika komunikasi seperti ini sudah menyenggol wilayah yang tidak prinsip lagi, bahkan hal-hal sepele. Sangat saya sayangkan.

Memang saya bukan ahli psikologi dan hal-hal yang saya tulis bukan berdasarkan survey-survey yang bisa diandalkan validitasnya. Ini hanya berdasarkan pengamatan saya semata.

Saya cuma berharap, kami (saya dan suami), mudah2an dijadikan orang yang mudah menerima nasihat dari orang lain dan tidak memilih-milih dalam mendengarkan pendapat orang lain berdasarkan latar belakang yang saya sebutkan di atas. Jika ada orang menasehati kami dengan hal-hal yang sulit kami terima, mudah-mudahan kami dijadikan orang yang berlapang dada dalam menerima kebenaran dari siapapun dan kapan pun, bahkan mungkin dari anak sendiri. 

Nah kasus pertama dan kedua tadi, cuma salah dua contooh kasus yang sering terjadi dalam komuniaksi sehari-hari a la orang dewasa. Masih banyak lagi kasus lain yang menarik untuk ditulis, tapi sekarang capek nulisnya...

Hannover, 8 Mei 2009